Membedakan Antara Aqidah Islamiyah Dengan Aqidah Madzhab
Akhir-akhir
ini kita semakin merasakan adanya gesekkan antar kelompok Islam dalam masalah
aqidah. Masing-masing kelompok membeberkan berbagai dalil untuk menunjukkan
bahwa aqidah merekalah yang paling shahih seraya memaparkan kesalahan kelompok
yang lain. Tak ayal, mereka pun kemudian saling menyesatkan dan saling membenci
(meski tidak sampai saling mengkafirkan) . Mereka adalah sebagian kecil dari
umat islam yang tenggelam dalam asyiknya membela sebuah madzhab dan melawan
madzhab Islam yang lain.
Madzhab-madzhab
tersebut telah menaruh perhatian yang begitu besar terhadap titik-titik
perbedaan pendapat yang ada di antara mereka. Begitu besarnya perhatian terhadap
perbedaan itu sehingga mereka pun akhirnya tidak mampu lagi melihat persamaan
yang ada. Hampir tidak ada lagi kesadaran bahwa, sebesar apapun perbedaan di
antara mereka, sebenarnya masih ada persamaan yang lebih prinsip. Persamaan itu
adalah “Aqidah Islamiyah” yang sama-sama mereka peluk, yang menjadi irisan
bersama di antara berbagai madzhab tersebut. Ya, bukankah mereka sama-sama
mengakui bahwa berbagai madzhab tersebut masih muslim dan belum melepaskan
pelukkan mereka terhadap Aqidah Islam?
Ya,
ada perbedaan antara Aqidah Islamiyah dengan aqidah madzhab. Aqidah madzhab
Asy’ariyah mungkin berbeda dengan aqidah madzhab salafiyah. Namun, baik
Asy’ariyah maupun Salafiyah keduanya masih memeluk Aqidah Islamiyah, sebab
Aqidah Islamiyah bukanlah aqidah yang menjadi ciri khas madzhab-madzhab islam.
Aqidah Islamiyah bukanlah keunikan yang membedakan sebuah madzhab dari madzhab
islam yang lain (seperti keunikkan aqidah maturidiyah yang membedakannya dengan
asy’ariyyah atau mu’tazilah). Aqidah islamiyah adalah aqidah yang mengumpulkan
seluruh kaum muslimin dalam satu golongan, yakni umat islam. Aqidah islamiyah
adalah keyakinan-keyakinan yang menjadi garis tipis yang memisahkannya antara
orang muslim dengan orang kafir.
Itulah
mengapa baik asy’ariyah, maturidiyah, wahabiyah, mu’tazilah, dll semuanya masih
muslim, asalkan mereka masih meyakini area aqidah inti yang menyatukan mereka,
yakni aqidah islamiyah, yang tak lain adalah kumpulan masalah-masalah ushul
yang bersifat qath’i, yang diyakini secara pasti oleh seluruh ahli qiblat,
apapun madzhabnya, seperti keesaan Allah, kerasulan Muhammad saw, keaslian
Al-Qur’an sebagai kalamullah, kebenaran surga dan neraka, eksistensi malaikat,
dll.
Lain
halnya dengan Ahmadiyah. Kelompok ini jelas kafir, jika benar bahwa mereka
mengingkari salah satu poin aqidah islam yang pasti, yakni bahwa Muhammad saw
adalah nabi yang terakhir. Keyakinan bahwa ada nabi lagi setelah Muhammad saw
merupakan faktor yang membuat Ahmadiyah tidak lagi bisa dikategorikan sebagai
madzhab Islam. Ia adalah aliran yang telah melampaui batas karena menentang
perkara yang bersifat qath’i (pasti) dalam Islam.
Dengan
ini maka jika ada orang yang ngotot untuk menjadikan masalah dzonniyah yang
membedakan madzhabnya dengan madzhab yang lain sebagai bagian dari Aqidah
Islamiyah, tentu -jika konsisten- dia akan mengkafirkan madzhab lain yang ragu
atau tidak percaya dengan apa yang ia yakini.
Namun
faktanya, kita tidak mendengar ada seorang syaikh dari kalangan “salafi” yang
berani mengkafirkan golongan ‘Asy’ariyyah, meski pertentangan di antara mereka
tentang sifat-sifat Allah begitu kerasnya. Artinya, orang salafi pun sebenarnya
sadar, bahwa seorang muslim tidak dapat kafir hanya karena mengingkari madzhab
aqidah mereka, seperti mengingkari kepercayaan bahwa Allah punya “tangan” dalam
arti tangan secara literal, atau “betis”, atau “telapak kaki” atau
“jari-jemari” atau mengingkari “turunnya” Allah ke langit dunia. Mereka
menyadari, bahwa seseorang tidak menjadi kafir gara-gara mengingkari semua itu.
Namun, disisi lain, mereka tidak segan untuk mengkafirkan kelompok Ahmadiyyah.
Kenyataan
tersebut menunjukkan apa yang tidak mereka katakan, yakni bahwa dalam
prakteknya mereka telah membedakan antara yang qath’i dengan yang dzonni.
Mereka sadar bahwa kepercayaan mengenai Muhammad saw sebagai Nabi terakhir
merupakan hal yang qath’i, sedangkan bahwa Allah punya “tangan” adalah hal yang
dzonni. Itulah mengapa mereka -sebagai mana kita semua- tanpa ragu mengkafirkan
Ahmadiyyah yang meyakini ada nabi lagi setelah Muhammad saw, dan salafi
-sebagaimana kita semua- tidak mentolelir segala bentuk ta’wil yang diajukkan
oleh Ahmadiyah untuk mendukung pendapat mereka tersebut, itu karena kepastian
bahwa Muhammad saw sebagai nabi terakhir merupakan perkara yang tidak
mentolelir ta’wil macam apapun.
Di
sisi lain, mereka masih mentolelir berbagai macam ta’wil atas makna “yadullah”
(tangan Allah) yang diungkapkan oleh Asy’ariyyah, dimana mereka kadang
mengartikan yad itu dengan kekuasaan. Mereka tidak mengkafirkan Asy’ariyah
disebabkan karena pena’wilan mereka itu masih dapat ditolelir.
Dari
sini dapat disimpulkan bahwa kita semua -secara sadar atau tidak- telah
memahami tiga hal: satu, kepercayaan-kepercayaan yang membedakan antara madzhab
Islam yang satu dengan madzhab yang lain itu bersifat dzonni, sebab jika qath’i
niscaya kita tidak akan memberi ruang toleransi sedikit pun bagi adanya
perbedaan pendapat; kedua, madzhab-madzhab yang beraneka ragam itu sebenarnya
masih memeluk inti aqidah yang sama, yakni aqidah Islamiyah, meski berbeda dalam
beberapa masalah yang dzonni. Tiga, Aqidah yang menentukan
keislaman seseorang adalah Aqidah Islamiyah yang qath’i dan disepakati oleh
seluruh ahli qiblat, bukan ciri khas aqidah Salafiyah, Asy’ariyah atau aqidah
madzhab apa pun.
Akhirnya,
tanpa bermaksud menghentikan usaha umat Islam untuk mencari “yang paling benar”
di antara madzhab-madzhab tersebut, saya ingin mengingatkan bahwa sebesar
apapun perbedaan di antara kita, kita tetap harus solid sebagai satu umat,
karena ada ayat yang berbunyi:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“dan berpegangteguhlah kalian dengan
tali (agama) Allah dan janganlah kalian saling berpecah-belah”
0 komentar:
Posting Komentar